Wednesday, March 7, 2012

Sejarah Makam Raja - Raja Mataram di Imogiri, Bantul, DIY

Makam Imogiri merupakan komplek makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Ginirejo Imogiri kabupaten Bantul. Makam ini didirikan antara tahun 1632 - 1640M oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, Sultan Mataram ke-3, keturunan dari Panembahan Senopati , Raja Mataram ke-1, dan merupakan bangunan milik keraton kasultanan.

Makam Raja-raja Mataram di Imogiri dikenal juga dengan nama Pajimatan Girirejo Imogiri, yang merupakan suatu kompleks khusus sebagai area pemakaman raja-raja keturunan Kesultanan Mataram Islam, termasuk raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kompleks pemakaman raja-raja Imogiri terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta sejauh 17 kilometer. Dari Kota Surakarta, jarak ke Imogiri adalah sekitar 77 kilometer. Secara administratif, kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri  ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejarah berdirinya Makam Raja-Raja Imogiri

Sejarah berdirinya makam Raja-raja Mataram di Imogiri bermula dari ketika Kesultanan Mataram Islam dipimpin oleh salah satu raja terbesarnya, yakni Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung, yang memerintah pada periode 1613-1645. Sultan Agung adalah raja ketiga Kesultanan Mataram Islam setelah Panembahan Senopati dan Panembahan Seda Krapyak. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, nama besar Sultan Agung sangat dikenal karena selain ia mampu menguasai hampir seluruh tanah Jawa, Sultan Agung juga dikenal sebagai sosok pejuang yang gagah berani. Bersama pasukannya, Sultan Agung pernah menyerang markas besar penjajah Belanda di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, kendati dua kali percobaan penyerangannya itu belum membuahkan hasil yang maksimal.

Keterangan mengenai asal-usul dibangunnya Makam Raja-raja Mataram di Imogiri dijelaskan dalam buku Riwayat Pasarean Imogiri Mataram. Di kitab itu dituliskan bahwa sejak awal Sultan Agung memang sudah berkeinginan untuk membangun sebuah kompleks khusus untuk tempat pemakamannya kelak. Awalnya, Sultan Agung ingin dimakamkan di tanah suci Mekkah saat beliau meninggal dunia nanti. Namun, keinginan ini tidak memperoleh izin dari pejabat agama yang berwenang di Arab Saudi. Sultan Agung tak lantas menyerah. Beliau kemudian mengambil segenggam pasir dari tanah Mekkah. Lalu, segenggam pasir itu dilemparkan ke tanah Jawa. Konon, tempat di mana pasir itu jatuh, maka di situlah tempat yang paling baik untuk dijadikan sebagai lokasi makam.

Pasir yang dilemparkan oleh Sultan Agung itu jatuh di sebuah tempat yang benrma Giriloyo. Namun, tempat itu ternyata telah diincar oleh Gusti Pangeran Juminah dari Kesultanan Cirebon, yang sekaligus juga paman Sultan Agung, sehingga Sultan Agung kemudian membatalkan niatnya untuk menjadikan Giriloyo sebagai makamnya kelak. Sultan Agung lalu mengambil segenggam pasir lagi dari tanah suci dan lantas dilemparkannya ke tanah Jawa. Lemparan pasir yang kedua ini jatuh di sebuah tempat yang berada di rangkaian Pegunungan Merak yang terletak di sebelah selatan pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam. Di tempat yang bernama Girirejo dan kelak disebut juga dengan nama Imogiri inilah Sultan Agung membangun kompleks pemakaman untuk dirinya kelak.

Pembagian Lokasi Makam Raja-Raja Imogiri

Pembangunan kompleks makam di Imogiri memang khusus diperuntukkan bagi raja-raja Kesultanan Mataram Islam yang mangkat. Sultan Agung ternyata menjadi Raja Kesultanan Mataram Islam pertama dan terakhir yang dikuburkan di Imogiri, karena penggantinya, yakni anak Sultan Agung yang bernama Raden Mas Sayiddin kemudian menyandang gelar Amangkurat I (1645-1677) dikebumikan bukan di Imogiri atas permintannya sendiri. Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram Islam yang terakhir sebelum terjadi perpecahan di kalangan wangsa Mataram dan kemudian menjadi penyebab berdirinya Kasunanan Kartasura Hadiningrat.

Kerajaan ini pada akhirnya mengalami perpecahan lagi sehingga muncul dua kerajaan baru sebagai penerus Dinasti Mataram, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Meskipun demikian Kesultanan Mataram Islam mengalami perpecahan, raja-raja dari kerajaan penerusnya, yakni Kasunanan Kartasura Hadiningrat dan kemudian berlanjut pada era Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tetap dikebumikan di Imogiri. Sejak munculnya dua kerajaan besar penerus Mataram, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kompleks pemakaman Raja-raja di Imogiri kemudian diberi sekat untuk memisahkan wilayah di kompleks pemakaman untuk masing-masing keluarga kerajaan pecahan Mataram yang masih eksis hingga kini tersebut.

Adapun Raja-raja Kesultanan Mataram Islam beserta keturunannya yang dimakamkan di Imogiri antara lain: Sultan Agung (1613-1645) raja Kesultanan Mataram Islam, Raja-raja Kasunanan Kartasura Hadiningrat yakni Sri Susuhunan Prabu Amangkurat II atau Amangkurat Amral (1680–1702), Sri Susuhunan Prabu Amangkurat III atau Amangkurat Mas (1702-1705), Sri Susuhunan Pakubuwono I (1705-1719), dan Sri Susuhunan Prabu Amangkurat IV (1719-1726). Selain itu, seluruh raja yang pernah berkuasa secara turun-temurun di Kasunanan Surakarta Hadiningrat setelah Kasunanan Kartasura Hadiningrat runtuh juga dimakamkan di Imogiri, yakni dari Sri Susuhunan Pakubuwono II (1745-1749) hingga Sri Susuhunan Pakubuwono XII (1944-2004). Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri  juga menjadi tempat persemayaman terakhir bagi raja-raja yang pernah bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1940-1988), kecuali Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang dikebumikan di makam raja-raja Mataram sebelum era Sultan Agung yang berlokasi di Kotagede, Yogyakarta.

Secara lebih rinci, kompleks pemakaman di Imogiri dibagi menjadi 8 (delapan) kelompok lokasi, antara lain sebagai berikut:
  1. Kesultanan Agungan. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam Sultan Agung Hanyokrokusumo, permaisuri, Amangkurat II, dan Amangkurat III.
  2. Paku Buwanan. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam Sri Susuhunan Pakubuwono I, Hamangkurat IV, dan Sri Susuhunan Pakubuwono II.
  3. Kasuwargan Yogyakarta. Kompleks ini menjadi lokasi untuk makam raja-raja awal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono I dan Sri Sultan Hamengkubuwono III. 
  4. Besiyaran Yogyakarta. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat generasi berikutnya, yaitu dari Sri Sultan Hamengkubuwono IV, Sri Sultan Hamengkubuwono V, dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
  5. Saptorenggo Yogyakarta. Kompleks ini masih menjadi lokasi makam raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
  6. Kasuwargan Surakarta. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam raja-raja awal Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dari Sri Susuhunan Pakubuwono III, Sri Susuhunan Pakubuwono IV, dan Sri Susuhunan Pakubuwono V.
  7. Kaping Sangan Surakarta. Kompleks ini menjadi makam untuk raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang berikutnya, yaitu dari Sri Susuhunan Pakubuwono VI, Sri Susuhunan Pakubuwono VII, Sri Susuhunan Pakubuwono VIII, dan Sri Susuhunan Pakubuwono IX.
  8. Girimulya Surakarta. Kompleks ini juga merupakan kompleks makam untuk raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yaitu untuk Sri Susuhunan Pakubuwono X, Sri Susuhunan Pakubuwono XI, dan Sri Susuhunan Pakubuwono XII.
Arsitektur Makam Raja-Raja Imogiri


Sultan Agung mempercayakan proyek pembangunan area pemakaman di Imogiri kepada salah satu orang kepercayaannya yang bernama Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo. Corak arsitektur pada bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks makam Raja-raja Mataram di Imogiri merupakan perpaduan antara pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam. Corak peradaban Hindu, misalnya, tampak pada bagian gapura atau pintu masuk atau gapura yang dibangun dengan corak mirip dengan bentuk candi yang terbelah. Di sekeliling kompleks makam, terdapat 4 (empat) gapura sebagai gerbang pintu untuk masuk dan keluar ke area kompleks makam. Keempat gapura itu masing-masing bernama Gapura Kori Supit Urang, Regol Sri Manganti I, Regol Sri Manganti II, dan Gapura Papak.

Keempat gapura tersebut dihubungkan oleh barisan tembok pagar yang disebut kelir. Sama seperti macam gapura, terdapat 4 (empat) jenis kelir yang mengelilingi kompleks Makam Raja-raja di Imogiri. Kelir yang pertama adalah Kelir Gapura Supit Urang yang memiliki panjang 4,40 x 0,60 meter, kelir ini terbuat dari susunan batu bata yang ditata tanpa menggunakan semen. Kelir yang kedua dinamakan Kelir Regol Sri Manganti I, kelir ini berukuran 4,35 x 0,40 meter juga disusun dari batu bata tanpa semen di mana bagian atap kelir ini berwujud polos sedangkan pada bagian bawahnya beralaskan 17 bidang berbentuk segi empat dan segi enam. Berikutnya adalah Kelir Regol Sri Manganti II yang terbuat dari batu bata dengan ukuran 4 x 0,20 meter,  kelir ini dihiasi ornamen-ornamen dengan ukiran yang berpola geometris dan diselingi pola tumbuh-tumbuhan. Yang terakhir adalah Kelir Gapura Papak, terdiri dari susunan batu putih berbentuk huruf L dan sama sekali tidak berhias.

Apabila dilihat dari segi penyusunannya, secara umum bentuk makam Raja-raja Mataram di Imogiri adalah berbentuk segitiga. Terdapat 3 (tiga) bagian yang ada di dalam kompleks pemakaman yang berbentuk segitiga ini. Bagian pertama yang terletak di bagian paling atas adalah lokasi makam Sultan Agung Hanyokrokusumo. Bagian kedua berada di sisi sebelah timur adalah kompleks pemakaman untuk Raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagian terakhir, yakni yang terletak di sisi sebelah barat merupakan lokasi pemakaman untuk para Raja yang pernah bertahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Aturan dan Larangan di Makam Raja-Raja Imogiri

Sekarang ini, kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri telah menjadi salah satu tempat tujuan wisata budaya, sehingga dibuka untuk umum kendati pada hari-hari tertentu kompleks yang dianggap sakral ini ditutup untuk kepentingan keraton. Meskipun dapat dikunjungi oleh wisatawan, baik pelancong domestik ataupun turis mancanegara, terdapat beberapa aturan khusus yang harus dipatuhi oleh setiap tamu yang berkunjung. Sejumlah aturan itu antara lain:
  1. Para peziarah diwajibkan berlaku sopan dan menjaga tata krama, baik pikiran, ucapan dan perbuatan, selama berada di area kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
  2. Para peziarah diwajibkan melepas alas kaki sebelum masuk masuk ke area inti Makam Raja-raja di Imogiri.
  3. Para peziarah dilarang memakai perhiasan, terutama yang terbuat dari bahan emas, selama berada di area kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
  4. Para peziarah tidak diperbolehkan membawa kamera atau mengambil gambar di area kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
  5. Bagi pengunjung perempuan yang sedang datang bulan (hadi) dilarang keras masuk area kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
  6. Para peziarah juga harus berpakaian adat Jawa sebelum memasuki area inti pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri. Untuk peziarah laki-laki minimal harus memakai perlengkapan seperti blangkon, beskap, kain, sabuk, timang, dan samir. Sedangkan untuk pengunjung perempuan memakai kemben dan kain panjang. Perlengkapan pakaian tradisional Jawa ini disediakan oleh pengelola Makam Raja-raja Mataram di Imogiri.
Sisi Lain Makam Raja-Raja Imogiri


Di kompleks Raja-raja Mataram di Imogiri juga terdapat masjid bersejarah yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Hingga kini, masjid yang menyimpan riwayat panjang ini masih terawat dengan baik dan masih digunakan untuk beribadah serta kegiatan-kegiatan agama lainnya. Bentuk bangunan masjid ini masih asli, begitu pula dengan berbagai perabotan yang ada di dalamnya. Keaslian masjid ini terlihat dari tiang utama atau soko guru yang terbuat dari kayu jati dengan ditopang oleh umpak berbentuk persegi yang berasal dari batu kali. Mihrab atau mimbar untuk imam juga masih tampak asli, berupa relung atau lekukan yang dibuat pada dinding sebelah barat. Ornamen yang menghiasi mimbar itu berupa ukir-ukiran yang di antaranya ada yang menyerupai bentuk kala. Selain itu, masih terdapat kolam yang terletak di halaman depan masjid. Baik soko guru, mihrab, dan kolam di masjid ini sudah ada sejak berdirinya masjid ini, yakni pada masa Kesultanan Mataram Islam dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Masih ada lagi benda-benda bersejarah yang terdapat di kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri. Salah satunya adalah padhasan (gentong) kuno yang merupakan hadiah dari negeri-negeri sahabat Kesultanan Mataram Islam. Ada 4 (empat) gentong bersejarah yang terdapat di kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri. Gentong pemberian dari Kerajaan Siam (Thailand) diberi nama Nyai Siyem, gentong hadiah dari Kerajaan Rum (Turki) diberi nama Kyai Mendung, gentong yang berasal dari Aceh diberi nama Kyai Danumaya, dan gentong pemberian dari Sultan Palembang diberi nama Nyai Danumurti. Sebagian orang meyakini bahwa air yang ditampung di dalam keempat gentong tersebut memiliki banyak khasiat. Banyak orang yang percaya bahwa jika meminum air dalam gentong itu akan terjaga kesehatannya, sembuh penyakitnya, bahkan dipercaya bisa mendatangkan kesuksesan dalam hidup. Oleh karena itu, banyak di antara peziarah yang berkunjung ke kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri menyempatkan diri untuk meminum air dari gentong-gentong itu, bahkan tidak jarang mengambil sedikit untuk dibawa pulang.

Bencana gempa bumi dahsyat yang mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 silam juga berdampak cukup serius terhadap bangunan-bangunan cagar budaya yang ada di dalam kompleks Makam Raja-raja di Imogiri. Ada beberapa tembok bangunan makam yang runtuh akibat guncangan gempa bumi di mana pusat gempa berada tidak seberapa jauh dari lokasi makam. Tidak hanya tembok, bahkan pintu gerbang makam Sultan Agung Hanyokrokusumo pun ikut rusak akibat gempa. Sejauh ini belum terlihat adanya renovasi yang maksimal untuk memperbaiki bangunan cagar budaya ini. Beberapa tembok bangunan yang miring hanya ditopang dengan menggunakan bambu atau kayu, sedangkan tembok dan pintu yang rusak ditutupi dengan seng.

Selain menjadi tempat wisata sejarah, Makam Imogiri juga menjadi tempat wisata religius, yaitu sebagai tempat ziarah. Pada bulan Suro menurut kalender jawa, di makam ini dilaksanakan upacara pembersihan "nguras" Padasan Kong Enceh. 

Tata cara memasuki makam di tempat ini adalah pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisonil Mataram. Pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan wanita harus mengenakan kemben.Selama berziarah pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi kerabat istana khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde. 

Konstruksi bangunan Makam Imogiri terbuat dari batubata. Bangunan - bangunan yang ada di komplek makam lmogiri adalah : 
  1. Masjid 
  2. Gapura 
  3. Kelir, yaitu sebuah bangunan pagar tembok yang berfungsi sebagai aling-aling pintu gerbang. Padasan. 
  4. Padasan merupakan tempat berwudlu / bersuci dan biasanya disebut enceh atau Kong. Enceh-enceh ini diisi setahun sekali pada hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang pertama di bulan Suro dengan upacara tradisi khusus. 
  5. Nisan, nisan untuk wanita biasanya bagian atasnya tumpul atau membulat , nisan untuk pria bagian atasnya runcing. Nisan-nisan di komplek makam ini di bagi dalam 8 (delapan) kelompok makam. Kolam, terletak di halaman depan masjid.

No comments:

Post a Comment